Flag Counter

Rabu, 04 Maret 2015

Senja di Ujung Jakarta

Aku menatap tak percaya. Mengapa dia datang kembali dalam kehidupanku? Wanita berjilbab krem itu berlari ke arahku. Dengan senyumnya yang khas dia menyebut namaku. Bagaimana dia bisa tahu aku berada di sini. Padahal telah lama aku lost contact dengannya.
“Faisal” sapa Rara menghampiriku.
“Kok kamu ada di sini?” tanyaku pada wanita yang kuperkirakan memiliki tinggi 147 cm “Tugas di sini” jawab Rara senang.
Entah mengapa ada perasaan tak nyaman di hatiku. Mungkin karena Rara seakan lama tidak bertemu denganku dan sambutannya terlalu ramah.
Sewaktu sekolah dasar, Rara adalah sainganku. Walaupun pada akhirnya dia meraih nilai DANEM tertinggi di kelas. Namun tak berhenti samapai SD karena Rara juga menjadi teman SLTP-ku. Hanya aku dan dia yang bersekolah di SLTP terfavorit di Surabaya. Sementara teman-teman lain memilih bersekolah di SLTP dekat tempat tinggal masing-masing. Tak jarang juga mereka masuk ke SLTP swasta.
Lulus SLTP, Rara meraih NEM sepuluh besar tertinggi. Aku masih ingat sekali NEM-nya saat itu 48,91 yaitu peringkat sembilan di SLTPN 1 Surabaya. Usai SLTP, kami berbeda sekolah, dia masuk SMA 5 sedangkan aku dengan NEM pas-pasan masuk di SMA 6. Ternyata kehebohan nama Rara makin menjadi sejak dia diterima di kelas akselerasi, dimana menyelesaikan masa studi SMA hanya dalam waktu dua tahun.
Selama mengenal Rara sebenarnya terbesit kekaguman dalam hatiku. Dia lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya bekerja sebagai penjual jamu keliling, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga. Namun semangat juang yang Rara punya mengalahkan semua mimpi yang dirasa tak mungkin tercapai.
Lulus SMA Rara melanjutkan kuliah di perguruan tinggi negeri, itu pun tanpa tes. Dia masuk melalui program PMDK Reguler. Itu menjadi satu keheranan bagiku, mengapa jalan hidupnya begitu mudah. Padahal aku yang lulus SMA satu tahun setelahnya saja masih harus mengikuti SPMB untuk masuk perguruan tinggi tempatnya kuliah.
Haha… lucu juga kalau aku ingat zaman masih menggunakan seragam putih merah. Aku dan dia hampir tiap hari tidak pernah akur. Selalu saja kami bermasalah dan masalah tersebut tidak berhenti sampai guru kelas melainkan sampai meja kepala sekolah. Aku berpikir seandainya aku dan Rara bukanlah siswa berprestasi mungkin telah lama kepala sekolah itu mengusir kami berdua.
Rara, dengan sikap tomboy-nya tidak memiliki sahabat perempuan. Semua temannya laki-laki. Yang sering ia katakan bahwa ia memiliki banyak body guard. Tapi jangan pikir aku salah satu dari anggota timnya, karena aku adalah musuh bebuyutannya. Aku dan dia selalu saja membuat masalah yang membuat guru kelas kami geleng kepala atau bahkan angkat tangan menangani kenakalan kami.
“Sudah lama di sini Ra?” tanyaku
“Sudah lama, dari November” jawabnya.
Aku tertinggal satu step lagi darinya. Dia sudah hampir menyelesaikan masa on job trainingnya di perusahaan listrik sementara aku baru menjalani diklat dan bahkan aku belum tahu akan mendapat penempatan di mana.
“Kapan pengangkatan? Udah ujian?”
“Insya Allah Agustus nanti, ujiannya sudah awal Juni kemarin”
“Itu membuat telaah staf?”
“Yup”
“Berapa lama menyusun TS?”
“Dua minggu” jawabnya santai.
Sementara teman-temanku mengawasi kami. Mereka menatap Rara penuh kagum karena Rara menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka seputar pembangkitan.
Rara mengikuti kami berkeliling menyusuri PLTGU dan menjelaskan sistem secara umum beserta auxiliary yang ada. Menurutku Rara memang bukan wanita yang menarik tapi ia wanita yang cerdas. Sesekali kulihat dia berbincang dengan Bapak Sumadji, koordinator pelatihan PLN di Cengkareng. Mereka berbincang seolah telah mengetahui seluruh ilmu pembangkitan. Tapi apa benar baru beberapa bulan saja Rara telah menguasai ilmu yang ada di sini.
Saat berbincang dengan rombongan wanita dia bercerita bahwa dia bukan dinas di unit pembangkitan melainkan di unit pemeliharaan. Dan kawasan yang menjadi wilayahnya bukan di Muara Karang tetapi di Muara Tawar. Nah lalu bagaimana dia bisa mengerti sebagian besar sistem di sini?
Kudekati Rara, kulihat ada semangat di matanya. Ada pancaran nyaman dan bahagia dari raut mukanya. Padahal Jakarta kan jauh dari Surabaya, anak manja ini ternyata bisa juga merantau.
“Sering pulang Ra?”
“Malah belum Sal, insya Allah Agustus”
“Oh…”
“Sal, minta nomer ponselnya dong”
Kusebutkan nomer ponselku. Dia menulis dengan antusias di ponselnya.
Sungguh aku masih tak percaya bahwa wanita di hadapanku ini Rara. Aku tak lagi bertengkar dengannya. Aku tak lagi bermusuhan dengannya. Bahkan sekarang ia tampak lebih dewasa. Rara yang sangat berbeda.
“Ra, tinggal di mana?”
“Kompleks PLN”
“Dikasih tempat sama perusahaan?”
“Enggak. Kontrak ma teman-teman”
“Teman-teman Rara cowok?”
Rara mengernyitkan dahi menatapku, “Iya”
Nah ini yang tidak berubah dari kehidupan Rara. Semenjak SD sampai bangku kuliah sahabat dan teman-teman akrab Rara adalah kaum Adam. Tapi herannya dia tidak pernah punya pacar.
“Rencana nikah kapan Ra” tanya Andhini, teman satu kampus denganku yang juga berstatus OJT PLN.
“Belum ada calon, minta doanya saja ya…” jawab Rara.
Andhini menatapku, “Tahu nggak Sal, kalau saja tadi aku nggak nyebut nama kamu di sms, pasti Rara nggak bakalan datang ke unit”
“Tadi kalian sms-an?” tanyaku
Rara tersenyum sipu, “Aku pingin ketemu sama musuh bebuyutanku”
Aku tersenyum kecil. Rara masih menyebutku sebagai musuh. Totally not change. Rara adalah musuhku dan itu masih terpatri dalam benaknya.
Kulihat jam tangan menunjukkan pukul 11.30. segera kami berbaris rapi menuju bis. Sementara kulihat Rara asyik berbincang dengan operator yang memakai wearpack merah. Mengapa aku merasakan ada yang berbeda darinya, sekalipun dia masih menyebutku sebagai musuhnya.

Senja makin kentara di ujung langit Jakarta. Kupandangi lautan teduh. Sementara teman-teman lain asyik bermain di Ancol.
Andhini mendekatiku, “Rara hebat ya…”
“Kenapa?” tanyaku
“Ya hebat dunk, kan dari tadi sepertinya semua orang lapangan kenal ma dia”
“Ya kan rekan kerjanya”
“Dia bilang kerjanya di kantor dan di lokal”
“Ya kan sesuai sama jurusannya, teknik Mesin”
“Dia memang cerdas”
Aku terdiam
“Kok dia masih menyebutmu sebagai musuh?”
“Karena dia memang musuhku”
“Tapi karena ada kamu Rara di hari liburnya tiba-tiba nongol di unit”
“Masa’?”
“Beneran…”
“Karena aku ganteng kali ya?”
Andhini memukul bahuku, “Ya Rara naksir kamu kali Sal”
Aku melanjutkan anganku. Aku merasa melihat Rara, senyum tawa tangis semua yang pernah kulihat seakan menjadi putaran waktu, sulit kuhentikan. Mungkinkah Rara masih menyimpan juga kenangan-kenangan antara kami yang menjadi memori bahkan sejarah di Sekolah Dasar.
Aku jadi rindu Surabaya. Aku rindukan…
Cerpen Karangan: Eka Sulistiyowati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar